Judul : Markesot Bertutur Lagi
Penulis : Emha Ainun Nadjib
Halaman : 296 hlm
Penerbit : Mizan
Kota Terbit : Bandung
Terbit : Agustus 1994
Cetakan : I

Dalam buku ini Emha Ainun Nadjib menceritakan tokoh yang bernama Markesot. Sebagaimana diungkapkan dalam preambule-nya bahwa Markesot tidak punya gagasan apapun yang disebut dengan” masa depan”. Ia tidak membayangkan apa-apa tentang perjalanan hidupnya, ia tidak mencemaskan hari tuanya, ia tidak memimpikan istri dan anak, meskipun sarjana itu mengejar-ngejarnya sampai-sampai surat cinta disobek-sobek yang dikirimkan kepadanya dianggap absurd dan cengeng. Ia tidak memperhatikan warna bajunya atau potongan rambutnya meskipun yang belakang ini mulai berubah semenjak sang sarjana berhasil menaklukkan hatinya.

Yang dipunyai markesot adalah kesetiaan menjalani hidup dalam satuan detik. Kesetiaan terhadap barang-barang yang diperbaikinya, barangkali benda itu melahirkan filosofi dan nilai-nilai kepadanya.
Tokoh Markesot bagi Emha Ainun Nadjib merupakan kenangan pribadinya atas masa kanak-kanaknya bersama temannya. Merekonstruksi pemikiran dan memodifikasinya menjadi tokoh imajiner yang diperlukan oleh masyarakat pembaca dalam situasi sejarah seperti sekarang. Dan Emha Ainun Nadjib juga mengakui bahwa beberapa cerita dalam tokoh Markesot ini adalah dia sendiri.

Dan, yang harus disebut pula bahwa jasa Markesot baik yang asli maupun yang dimodifikasi dan diidealisir kepada masyarakat tidak terletak dalam representasi kemerdekaan pribadinya, sikap egaliternya, perhatiannya yang besar kepada semua persoalan masyarakat, tapi juga lebih konkret dari itu.

Sesuatu yang sangat saya apresiasi dalam tokoh Markesot ini adalah bahwa dia selalu mengatakan “bahwa guru adalah apa yang kita hadapi”. Ia punya kepekaan dan kecerdasan ekstra dalam mesin kendaraan bermotor. Dari motor sampai truk dan juga kegemarannya dalam elektronika. Jangan sodorkan kepadanya “sampah” sepeda motor maupun mobil, nanti dia renungi dan diotak-atik sehingga kembali seperti semula.

Buku ini terbagi menjadi sembilan bagian dan saya kira satu paragraf pada awal bagian masing-masing bab merupakan representasi dari bab tersebut. Bagian pertama Markesot bertutur tentang kesunyian. Bagi Emha Ainun Nadjib, ada banyak hal yang amata menusuk dan menghantam akal sehat tapi hampir semua para ahli dan pemerintah menyatakan bahwa semua baik-baik saja sungguh saya amat kesepian. Begitulah yang tertulis di halaman awal bab pertama sebelum Anda membuka lembaran-lembaran halaman berikutnya.

Sementara pada awal bagian kedua Markesot bertutur tentang hakikat hidup, lagi-lagi saya tertegun dengan pernyataan Emha Ainun Nadjib. “Apa kau pikir belajar tasawuf itu hanya dari ulama, ustad, dan kiai-kiai saja? Apa kalian pikir cacing yang melata dan rerumputan yang dinjak-injak orang tidak bisa berfungsi sebagai sesama mursyid atau maha guru bagi proses tasawuf kita?”. Pada bagian ketiga Markesot bertutur tentang keterbukaan. Di sini kita bebas mengemukakan pendapat apa saja, asal pendapat itu tidak bertentangan dengan pemerintah. Kita boleh berpidato atau menulis apa saja di koran –koran, asal tidak mengandung unsur SARA, asal tidak menghambat pembangunan dan tidak merongrong wibawa pemerintah.

Bagian keempat Markesot bertutur tentang harapan masyarakat. Indonesia sudah semakin “babak bundhas” oleh berbagai ironi pembangunan. Oleh makin rendahnya tingkat kemampuan ekonomi mayoritas penduduk yang tinggal di desa-desa. Oleh berbagai penyakit struktural, inkonsistensi moral, dan disiplin dalam jajaran birokrasi. Bagian kelima Markesot bertutur tentang jabatan ia ringkaskan dengan alhasil lurah yang kita tokohkan ini bebal integritas sosialnya, tuli kemampuannya dan tidak landhep kepekaan kerakyatannya.

Kerjanya hanya menjadi “kerbau cocokan” carik lama yang dikenal sebagai dedengkot “mafia penghisap rakyat”.
Sementara pada bagian keenam Markesot bertutur tentang janji pemilu. Lho, bukannya pemilu itu bikin orang tidak tenang. Cuma Markemplo kurang sir ramai-ramai. Bagi dia, pemilu itu rahasia bathin seperti hanya cinta pribadi dan Tuhan. Apa yang dia lakukan terhadap pemilu, yang tahu ya hanya dia sendiri dan Tuhan serta serjumlah malaikat yang diizinkan untuk mengetahui rahasia itu. Bagian ketujuh Markesot bertutur tentang calon petinggi. Seseorang menjadi pemimpin atau tidak itu akan muncul dengan sendirinya melalui seleksi alam, bukan melalui teknokrasi seperti itu. Kalau orang merasa dirinya jadi pemimpin biasanya dia bukan pemimpin yang baik, malah cenderung menjadi penguasa. Pemimpin biasanya adalah orang yang merasa sebagai temannya orang banyak.

Pada bagian kedelapan Markesot bertutur tentang masyarakat bawah. Masyarakat tidak punya kesanggupan apapun untuk membeli nasib yang lebih baik, membeli tali koneksi, membeli perlindungan, dan membeli kemewahan. Mereka bisa saja tiap hari dipukuli oleh majikannya, disirami air panas, digunduli rambutnya, diperkosa, atau diapakan pun-tanpa ada kemungkinan untuk membela diri. Dan yang terakhir, bagian kesembilan Markesot bertutur tentang masa depan. Pernahkah kita membayangkan, kalau di tahun 1989 kita punya anak bagaimana kelak nasib anak itu kelak di tahun 2000 umpamanya? apakah yang akan kita lakukan sekarang agar anak-anak kita kelak memperoleh suatu dunia yang menyejahterakan hidup mereka?

Buku ini merupakan kelanjutan pertualangan Markesot dalam mengarungi samudera permasalahan kita. Dibandingkan dengan “buku pertama”nya. Buku keduanya ini lebih seru dan mengajak kita untuk merenungi hakikat kehidupan tanpa menghilangkan sama sekali nuansa guyonan yang telah menjadi ciri khasnya. Pada hakikatnya, Markesot adalah sebuah cara (untuk tetap) bertahan menjadi manusia.

Related Posts by Categories



These icons link to social bookmarking sites where readers can share and discover new web pages.
  • Digg
  • Sphinn
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • Spurl
  • StumbleUpon
  • Technorati