Email : JamaahMaiyah@yahoo.com
Judul: BangBang Wetan, Macapat Syafaat, Jamaah Maiyah
Iklan: Jamaah Maiyah
Sebutan Jamaah atau Jemaah ini tidak benar-benar bergerak secara
institutif sebagai kelompok eksklusif tertentu. Jemaah ini secara rutin
berkumpul dalam forum bersama Cak Nun ( Emha Ainun Nadjib
). Acara ini mungkin bisa dibilang pengajian, tapi standar yang biasa
ditemui dalam sebuah acara pengajian tidak benar-benar menjadi dominan.
Sebab di dalamnya lebih banyak mengajarkan semangat hidup, sikap
toleran dan hidup bersama dalam kontribusi kebaikan. Jadi boleh juga
dibilang bahwa Jemaah Maiyah tidaklah identik sebagai sekumpulan orang
Islam saja. Malah seringkali hadir dalam pengajian ini tokoh2 lintas
Agama, Aliran, Suku Bangsa, Etnik, LSM, Mahasiswa dalam dan luar
negeri, dan lain-lain. Nuansanya sangat berbudaya dan tidak juga
serta-merta menjadi sinkretisme.
Beberapa orang yang pernah hadir dalam acara ini antara lain, Gus Dur, Mbah Surip, Ebiet G Ade, Ari Lasso, Ahmad Dhani, Muhammad Nuh , Permadi , Ian L Betts , dan masih banyak lagi.
Bahkan banyak kejadian unik, salah satunya hadirnya orang gila yang
akhirnya bisa sembuh di salah satu acara Jemaah Maiyah. Dengan gaya
bicara khasnya, Cak Nun bilang "Acara ini bukan acara khusus untuk
orang Islam, tapi untuk semua manusia yang Islam dan yang tidak Islam,
Manusia waras dan manusia yang tidak waras, bahkan Jin, Setan, Dhemit,
Gendruwo, kalau memang berminat untuk jadi baik akan disambut dengan
tangan terbuka".
Jemaah Maiyah memang tidak bisa melepaskan diri dari Cak Nun sebagai
figur panutan. Tapi pengkultusan bukan menjadi ideologi masal di Jemaah
Maiyah. Jadi meskipun Cak Nun tidak bisa hadir di dalam acara, tetap
saja acara bisa berlangsung dengan baik
Sejarah singkat
Maiyah lahir pada malam menjelang akan digelarnya Sidang Istimewa MPR 2001,
tepatnya pada tanggal 31 Juli 2001, sementara di Jakarta suhu politik
semakin memanas, Emha secara khusus menggelar acara "Sholawatan Maulid"
di kediamannya bersama sahabat-sahabatnya Kiai Kanjeng untuk mensikapi
situasi politik yang semakin tidak menentu.
Kegiatan semacam ini sebelumnya sudah sering digelar namun belum
menggunakan kata-kata Jamaah Maiyah, sebab hanya berupa kegiatan
pengajian yang tidak hendak menekankan pada eksistensi substansif.
Dalam perkembangannya sebutan Jamaah Maiyah tetap dipertahankan nilai
esensialnya bukan mengacu pada kelompok, golongan, ataupun aliran.
Pendekatan dengan nama Jamaah Maiyah lebih bertujuan sebagai bentukan
kebersamaan meraih semangat bertahan hidup bahwa Allah berada pada setiap nafas kehidupan.
Di hadapan sahabat-sahabat setianya itu, Emha memberi ilmu dan hikmah, bahwa rakyat Indonesia
semakin tidak mendapat jaminan apapun dari negara dan pemerintahnya.
Nyawa dan keamanan hidupnya tidak dijamin oleh kepolisian, kedaulatan
negerinya tidak dijamin oleh tentara, kesejahteraan ekonominya tidak
dijamin oleh produsen-produsen budaya serta media massa. Bahkan
Indonesia secara transparan mempertunjukkan politik iblis, industri
iblis, budaya iblis. Artinya apa yang sehari-hari diperoleh oleh
masyarakat adalah hal-hal yang memusnahkan kemandirian ekonominya serta
memerosotkan akhlak kebudayaannya.
Maka Emha kemudian mengajak, untuk membangun sendiri negeri-negeri
di dalam dirinya, negeri kemandirian dalam kebersamaan, yang
dilukiskannya sebagai lingkaran, yang kemudian disebut sebagai
Lingkaran Maiyah atau Lingkaran Kebersamaan, suatu kumpulan sebagian
rakyat Indonesia yang bergandengan tangan untuk semaksimal mungkin
memerdekakan dirinya dari keadaan-keadaan yang membahayakan.
Maiyah yang berarti kebersamaan, pertama melakukan apa saja bersama
Allah. Kedua bersama siapa saja mau bersama. Maiyah bisa berarti
komitmen nasionalisme, kedewasaan heterogenisme, kearifan pluralisme, dan tidak ada kesenjangan ekonomi. Maiyah sendiri secara "kata" muncul dari untaian hikmah yang disampaikan oleh Ustadz Wijayanto, MA, di tengah-tengah acara internal itu, dengan menyebut beberapa kalimat : "Inna ma'iya rabbi", menirukan Musa AS. Untuk meyakinkan ummatnya bahwa Allah ada bersamanya. "La takhaf wa la tahzan, Innallaha ma'ana", Jangan takut jangan sedih, Allah bersama kita. Tutur Muhammad SAW, tatkala dikejar-kejar oleh pasukan musuh, untuk menghibur dan memelihara iman Abu Bakar.
Maka di dalam Maiyah, Emha dan Kiai Kanjeng tidak memfokuskan
kegiatannya pada musik dan kesenian, melainkan proses dan komunikasi
sosial yang komprehensif. Emha dan Kiai Kanjeng berkeliling Indonesia
untuk menumbuhkan spiritualitas manusia, melalui sholawat, wirid, dan
doa, untuk pencerdasan pikiran masyarakat, untuk mengajak membangun
kemandirian, dan untuk menawarkan alternatif kebudayaan yang tidak
membahayakan jiwa masyarakat, tetapi bergembira dan diridhoi Allah di
dunia dan akhirat.
Dulu Emha dan Kiai Kanjeng pentas dan diletakkan di panggung. Mereka
ditonton oleh penonton, dalam Maiyah tidak berada dipanggung dan tidak
ditonton oleh siapapun. Dulu berpakaian hitam-hitam, dalam Maiyah
mereka berpakaian putih-putih, yang tidak untuk menunjukkan bahwa
mereka sudah putih melainkan agar terdorong untuk putih. Mereka duduk
melingkar, menciptakan lapisan-lapisan lingkaran berikutnya, tidak
mempertunjukkan musik dan suaranya kepada penonton, Emha dan Kiai
Kanjeng hanya bernyanyi, bersholawat, berwirid, membaca puisi atau
apapun dengan membawa kesadaran bahwa yang dihadapan mereka adalah
Allah.
Maiyah Dan Alunan Bunyi
Kenapa Shalawatan, wiridan, berdzikir, mengaku dosa kok pakai musik?
Karena manusia itu khalifatullah, mandataris yang ditunjuk oleh Allah
untuk mengurus dirinya sendiri dan alam semesta. Khalifah itu
pengelola. Manager, Direktur kehidupan. Eksekutif, badan pelaksana.
Para khalifah alias direktur-direktur ini menentukan apakah saron
dibunyikan untuk mengiringi tayuban ataukah untuk memperindah
pernyataan cinta kepada Allah. Mereka yang mengambil keputusan apakah
biola digesek, kibor dipencet, seruling ditiup, perkusi ditabuh,
terbang ditampar – untuk memeriahkan tarian atau lagu-lagu yang tidak
terjamin keamanannya di depan pandangan nilai Allah, ataukah dipakai
untuk memperasyik lagu puja-puji atas keagungan Allah. Tentu saja,
asalkan jangan lantas orang azan diiringi biola, orang sholat ditabuhi
pakai gendang, orang thawaf diiringi genderang massal. Maiyah bukan
ibadah makhdloh. Ia hanya kegiatan budaya yang menggali inspirasi dari
Agama. Ia hanya mereligiouskan perilaku budaya. Ia hanya aktivitas
sosial budaya yang tidak merelakan dirinya kalau hanya diperuntukkan
buat yang bukan Allah. Karena sabbaha lillahi ma fis samawati wa ma fil ardli,
seluruh mahluk yang dilangit dan dibumi ini bertasbih kepada Allah. Dan
para khalifah Kiai Kanjeng tahu, bahwa yang bertasbih kepada Allah itu
bukan hanya Jin dan manusia, tapi juga benda-benda, saron, biola, seruling, terbang, bahkan capung, rumput, daun-daun kering. Bukankah Allah tidak menggunakan kata man fis samawati, melainkan ma fis samawati?
Etimologi Maiyah
"Inna ma'iya rabbi", tutur Musa, Nabi 'alaihissalam, untuk
meyakinkan ummatnya bahwa Allah ada bersamanya. Muhammad Rasulullah
saw, juga mengunakan kata yang sama – di gua Tsur, tatkala
dikejar-kejar pasukan musuh – untuk menghibur dan memelihara iman Abu
Bakar, sahabat beliau, Sayyid kita radiallahu'anhu : "La takhaf wa la tahzan, innallaha ma'ana". Jangan takut jangan sedih, Allah ada menyertai kita.
Jadi, asal usulnya dari ma'a. Artinya, dengan, bersama, beserta. Ma'iyatullah, kebersamaan dengan Allah. Ma'iyah itu kebersamaan. Ma'ana bersama kita. Ma'iya, bersamaku. Lantas kata-kata dan bunyi Arab itu 'kesandung' oleh lidah etnik kita menjadi Maiya, atau Maiyah, atau Maiyahan.
Website: http://layananiklanmu.blogspot.com/search/label/Bisnis%20Internet
--
Visitor Ip: 125.164.205.246
0 comments